DINAMIKA DAN AKAR MASALAH GIZI BURUK DI INDONESIA, SANGGUPKAH PROGRAM PEMERINTAH MENGATASINYA ?


Oleh Gatrasono, STr. Gz 

Gambar 1. Potret anak kekurangan gizi

Agenda prioritas pembangunan pemerintah saat ini seperti yang tertuang dalam nawacita salah satunya yaitu mewujudkan Indonesia sehat. Strategi pemerintah dalam mewujudkan Indonesia sehat terangkum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Arah Kebijakan pembangunan kesehatan antara lain memfokuskan peningkatan status gizi masyarakat Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menanandatangani kesepakatan bersama terkait agenda internasiaonal yaitu Sustuinable Development Goals (SDGs). Terdapat 4 Goals yang menjadi perhatian khsuus untuk posisi sektor kesehatan dalam kerangka SDGs, khususnya Goals no 2 terkait dengan bina gizi yaitu “NOL KELAPARAN” dengan target mencapai ketahan pangan dan meningkatkan gizi.

Berkaca pada implementasi MDGs dalam rentang waktu tahun 2000-2015  diketahui dari 31 indikator MDGs dalam bidang kesehatan, hanya 7 indikator saja yang dapat dicapai oleh Indonesia selama kurun waktu 15 tahun penerapan agenda internasional tersebut sedangkan sisanya “masih” berjalan dan off track. Bak dikejar hantu, tentunya pemerintah Indonesia harus lebih bekerja keras untuk menyelamatkan reputasi Indonesia di mata dunia. Bagaimana tidak, menurut laporan resmi dari Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa ada 6 propinsi di Indonesia yang sulit keluar dari belenggu permasalahan kemikiskinan dan prevalensi gizi kurang. Perhatian pemerintah Indonesia harus lebih diarahkan pada wilayah Indonesia Timur. Hal ini dikarenakan beberapa wilayah indonesia timur memang selalu menjadi langganan untuk daerah yang sulit keluar dari jurang kemiskinan dan permasalahan gizi. 

Faktanya dari hasil Pemantauan status gizi (PSG) tahun 2015 diketahui prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita di Indonesia sebesar 18,8% diantaranya 3,9% kasus gizi buruk dan 14,9% kasus gizi kurang (BB/U). Sedangkan, hasil PSG pada tahun 2016 prevalensi kekurangan gizi sebesar 17,8% diantaranya 3,4% kasus gizi buruk  dan sisnya 14,4% kasus gizi kurang. Walaupun prevalensi kekurangan  gizi berdasarkan indikator BB/U pada tahun 2016 mengalami penururnan dibandingkan pada tahun sebelumnya, namun berdasarkan Indikator WHO diketahui status gizi buruk-kurang balita menjadi masalah serius apabila prevalensi indikator tersebut sebesar 17%, sehingga dapat diketahui bahwa masalah gizi buruk dan gizi kurang masih menjadi momok masalah gizi serius yang harus segera ditanggulangi. Mengkaji dari data tersebut dapat diketahui lagi dan lagi tampak dari tahun ke tahun pemasalah gizi khususnya gizi buruk dan gizi kurang agak sukar ditanggulangi. Program pemerintah yang sebelumnya telah berjalan dalam menanggulangi masalah gizi nampaknya kurang optimal jika melihat hasil pemantauan status gizi yang kurang memuaskan.

Gambar 2. Topografi penyebaran kasus balita kekurangan gizi di Indonesia

Bila kita melihat peta tofografi penyebaran kasus masalah gizi kurang balita di Indonesia diketahui penyebaran kasus kekurangan gizi balita paling banyak diwilayah daerah Indoensia Timur. Melihat pola penyebaran kasus kurang gizi yang selalu melanda saudara kita di Indonesia Timur, maka dapat diasumsikan bahwa masalah gizi di daerah Indonesia Timur erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan keluarga yang lemah. Pembangunan manusia dan infrastruktur untuk mendongkrak pertumbuhan kesejahteraan masyarakat kurang merata dan mendapat perhatian khususnya di daerah Indonesia Timur. Mahalnya harga bahan pangan membuat menurunnya daya beli masyarakat, padahal untuk mengatasi masalah gizi salah satu caranya adalah memberikan makanan yang bergizi yang bersumber dari bahan pangan yang baik dan berkualitas.  Seperti yang diketahui dalam mengatasi permasalahan kemiskinan memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan usaha yang sangat besar dalam berbagai sektor untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Ditambah lagi, menurut data terkini menyatakan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia terus meningkat. Perkara tersebut menambah lebar kesenjangan ekonomi dilapisan masyarakat Indonesia. Menurut Unicef, krisis ekonomi, sosial dan politik merupakan akar dari masalah meningkatnya masalah balita gizi kurang dan giz buruk. Keluarga balita dengan status ekonomi yang kurang baik tidak mempunyai daya beli yang cukup terhadap pangan yang bergizi untuk anaknya sehingga anak diberikan makanan seadanya yang tidak sesuai dengan prinsip gizi seimbang.

Ditambah kualitas sumber daya manusia yang kurang handal menjadi faktor lain yang dapat menyebabkan bertambah parahnya insiden kasus gizi kurang dan gizi buruk. Ibu balita yang kurang pengetahuan dalam memberikan pola asuh terhadap balita merupakan faktor tidak langsung yang berdampak pada semakin buruknya kualitas penanganan kejadian gizi kurang dan gizi buruk balita. Walaupun penyebab masalah gizi tidak melulu diakibatkan oleh faktor tidak cukupnya persediaan makanan, pola asuh orang tua tidak memadai dan sanitas lingkungan yang buruk. Namun, perihal-perihal masalah tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan tekait bagaimana mengurangi angka gizi kurang dan gizi buruk. Bayangkan saja negara ini yang katanya digadang-gadang akan memimpin sektor pertumbuhan ekonomi dunia beberapa tahun kedepan namun masih ada masalah gizi kurang dan gizi buruk yang disebabkan oleh lemahnya sektor ekonomi masyarakat yang berdampak pada ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi yang buruk. Tentunya hal tersebut harus menjadi evaluasi bersama dan sekali lagi akan menurunkan citra bangsa ini apabila kasus gizi buruk masih terekspos media asing serta menjadi kajian ilmiah beramai-ramai mengapa bisa terjadi seperti itu. 

Sejatinya program upaya perbaikan gizi tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah melainkan menjadi tanggungjawab bersama. Oleh karena itu, perlunya suatu upaya komperhensif yang dilakukan secara simultan dari berbagai pemangku kebijakan dan yang paling utama yaitu masyarakat sebagai penggerak kegiatan. Peran kelurga mejadi ujung tombak dalam menanggulangi masalah gizi balita. Keluarga yang awere akan status kesehatan anggota keluarganya maka akan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Diperlukan upaya-upaya promotif  kesehatan gizi yang bersifat persuasif dalam lapisan masyarakat. Dalam lingkup terkecil yaitu keluarga perlu ditanamkan rasa kepedulian tinggi terhadap status kesehatan setiap anggota keluargaya. Kalau berbicara mengenai program pemeritah dalam mengatasi masalah kesehatan memang masih banyak celah-celah yang menyebabkan program dan kebijakan yang diimplementasikan menjadi kurang optimal. Salah satu celah tersebut yakni tanggungjawab masyarakat yang kurang untuk menyelesaikan masalah kesehatan khususnya gizi sehingga selalu bergantung dengan program-program pemerintah bahwasannya semua masalah kesehatan menjadi  tanggungjawab pemerintah saja. Pemehaman masyarakat yang seperti ini sebetulnya secera perlahan harus diubah kearah yang lebih mandiri. Pada dasarnya pemerintah berperan sebagai fasilitator, sedangkan masyarakat adalah ujung tombak dalam menanggulangi masalah-masalah kesehatan. Melalui strategi peningkatan pemberdayaan keluarga sepertinya menjadi solusi yang cukup efektif untuk menciptakan masyarakat yang swadaya, swadana dan swakarsa sehingga akan menimbulkan kapasitas mayarakat dalam dalam menanggulangi masalaha kesehatan.

Komentar

  1. KADG PRAGMATIC PLAY ONLINE CASINO TERBAIK
    KADG PRAGMATIC PLAY ONLINE CASINO 온카지노 TERBAIK izin หารายได้เสริม slot pragmatic febcasino play adalah situs slot gacor judi online di Indonesia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts

5 HAL YANG LO BAKAL ALAMI KALAU KULIAH DI JURUSAN GIZI (PART COWOK)

DIMANAKAH PERAN STRATEGIS GENERASI MILLENNIAL DALAM PARTISIPASI MEMBANGUN SEKTOR KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA ?